·
Menjadi manusia
global min 500 kata / 1 lembar
Pertemuan itu
senyatanya bertujuan untuk membahas permasalahan brain
drain yang memang sedang dirasa booming. Arti
sederhananya, yaitu larinya para ulul albab, atau
orang-orang pintar Indonesia ke luar negeri, demi mencari penghidupan yang
lebih baik. Contohnya, bapak insinyur Indonesia pak Habibie. Kasusnya sering
bermula dari kesempatan belajar di luar negeri yang diterima oleh para
mahasiswa, namun menjelang akhir studi, mereka tidak kembali ke Indonesia.
Melainkan menetap dan bekerja di negara tempat numpang tersebut.
Seluruh mahasiswa
Indonesia di luar negeri, yang merupakan perwakilan Persatuan Pelajar Indonesia
(PPI) itu berbagi tentang keadaan yang mereka hadapi di dunia luar. Tidak ada
satupun yang menampik bahwa ada daya tarik yang besar bagi orang-orang
Indonesia di luar negeri untuk terus bekerja di sana. Faktor-faktor utamanya:
keadaan ekonomi yang lebih baik, lapangan kerja yang lebih luas tersedia, serta
sistem kerja yang lebih melekteknologi
serta profesional.
Simak saja cerita
perwakilan dari Filipina. Kerja part-time di
perusahaan untuk menghidupi dirinya selama jadi mahasiswa, dengan jadwal kuliah
yang disesuaikan dengan jadwal kerjanya, ia bisa mendapat upah sebesar Rp 8
juta per bulan, dibayar sesuai dengan shift jam
kerjanya setiap minggu. Itu baru tingkat lulusan undergraduate.
Cerita dari perwakilan
Swedia tidak jauh berbeda. Seorang tukang sampah saja (Swedia adalah negara
yang mengoversi sampahnya dan sampah negara tetangga menjadi energi) digaji
sekitar Rp 20 juta per bulan. Siapa yang tidak ngiler.
Siapa yang bisa menyalahkan orang-orang yang akhirnya menetap di sana.
Faktor lain adalah
kasus lulusan magister maupun doktoral luar negeri yang kembali ke Indonesia
tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya. Seringkali,
kesempatan kerja yang ada memiliki persyaratan kompetensi yang lebih rendah.
Ini juga beban; bagaimana seseorang merasa tidak bisa mengaplikasikan
keseluruhan ilmunya dengan baik.
Mereka
Lari, Terus Kenapa?
Bahaya brain drain, yaitu bahwa Indonesia bisa kekurangan orang-orang paling mumpuni-nya di dalam negeri sendiri. Padahal kalau dibandingkan, masih banyak sekali kekurangan di dalam negeri yang membutuhkan keahlian dan kemajuan pemikiran. Kasusnya menjadi semakin urgent, karena kesempatan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia untuk menetap di luar negeri, bisa dibilang semakin besar.
Indonesia termasuk negara yang banyak
diincar karena resource manusianya yang besar, sejalan
dengan statusnya sebagai productive country.
Apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara makmur seperti di Eropa, yang
sudah mulai memasuki tahap aging country dan
kehilangan SDM produktifnya, terutama untuk tenaga industri.
Sebenarnya, persebaran orang-orang Indonesia
di luar negeri juga bisa berdampak baik bagi perkembangan diplomasi, ekonomi
dan akademisi. Contohnya adalah orang-orang Tiongkok yang juga tersebar ke
berbagai negara, namun tetap terhubung dengan jaringan bisnis dan ekonomi di
negara sendiri. Sehingga negara mereka juga turut berkembang karenanya.
Nampaknya hal ini yang sedikit luput.
Karena motif tinggal ke luar negeri yang masih lebih banyak untuk
‘membahagiakan’ diri sendiri, maka banyak kemungkinan faktor kepedulian
terhadap masyarakat di kampung sendiri terlupakan, atau terabaikan. Ada missing
link antara para diaspora ini dengan masyarakat di dalam negeri
sendiri yang mengakibatkan transfer ilmu sedikit terhambat. Apakah lantas ini
jadi sebuah masalah nasionalisme?
Pada titik ini diskusi dalam pertemuan itu
mencapai titik ‘sensitif’. Mereka yang di luar negeri tidak mau menerima
anggapan bahwa keberadaan di luar negeri lantas membuat mereka tidak kehilangan
semangat nasionalisme. Sementara yang berada di Indonesia merasa bahwa mereka
di luar tidak merasakan perjuangan yang sama untuk mengoptimalisasi diri dan
membangun negeri.
Menanggapi pemikiran ini, saya rasa I Made
Andi Arsana di Australia menyajikan sudut pandang yang menarik. Sebagai
orang Indonesia ‘tulen’, paling tidak dasar rasa cinta kepada negeri yang harus
ada. Termasuk cinta pada masyarakat Indonesia sendiri. Sehingga bisa tumbuh
rasa ‘one for all, all for one‘,
bahkan ‘all for all‘.
Memang, bisa jadi kita tidak suka dengan
keadaan di negara sendiri. Namun, ”…mengutuk dan mencaci Indonesia tanpa
berbuat sesuatu yang sesungguhnya bisa dilakukan, tidak menjadikan seseorang
sebagai kaum nasionalis. Di sisi lain, meneriakkan nasionalisme dan buta akan
kelemahan negeri serta antipati terhadap orang yang gemar mengkritik Indonesia
juga tidak menjamin seseorang menjadi seorang nasionalis,” kata ‘Bung’ Andi.
Pemikiran ini tertuang dalam artikel berjudul Menera
Ulang Nasionalisme.
Jadi, apakah nasionalisme itu terikat pada
negara mana seseorang berada? Mungkin tidak. Namun, yang lebih berarti adalah
upaya-upaya yang mereka lakukan untuk negara sendiri. Bagi seorang akademis,
tentunya ini terkait dengan menyebarkan dan mengaplikasikan ilmu yang mereka
miliki. Bagaimana bila wadah bagi hal itu non-existent di
dalam negeri sendiri? "Jadi entrepreneur saja!" kata Hary
Tanoesoedibjo yang turut hadir dalam salah satu rangkaian pertemuan tersebut.
JADI ORANG INDONESIA :
MAHAL
Mencari kesejahteraan hidup itu memang
mutlak bagi setiap manusia. Nabi Muhammad dulu juga berhijrah ke Madinah demi
mencari kehidupan yang lebih baik. Namun, setelah sejahtera, ia dan kaum Muslim
yang sudah lebih kuat barisannya pun kembali ke Mekkah untuk membangun kembali
peradaban yang lebih baik.
Menjadi orang Indonesia itu nampaknya
memang sedikit ‘mahal’. Kemerdekaan kita dulu tidak lepas dari gugurnya jutaan
jiwa. Kini, orang-orang dengan niat untuk membangun Indonesia, memang harus
sedikit melepas kenyamanannya di tengah situasi yang masih kurang ideal.
Mudah-mudahan, globalisasi turut mendorong kita menuju tingkatan nasionalisme
yang lebih tinggi. Yaitu nasionalisme yang mendorong kita untuk mengevaluasi
negara sendiri agar terus menjadi lebih baik.
Bagi saya sendiri, kesempatan belajar ke
luar negeri tidak lepas dari tanggung jawab besar. Sebuah tuntutan tidak
tercatat seakan mengiringi, untuk menjadi seseorang yang lebih bermanfaat bagi
masyarakat. Saya sendiri terus berdoa semoga kejadian-kejadian di masa ini
menjadi pemicu pergerakan-pergerakan baru yang profesional dari Indonesia.
Semoga.
·
Seluruh provinsi di
Indonesia + ibu kota + gubernur
No
|
Nama Provinsi
|
Ibu Kota Provinsi
|
Gubernur
|
1
|
Nanggroe
Aceh Darussalam
|
Banda
Aceh
|
Zaini
Abdullah
|
2
|
Sumatera
Utara
|
Medan
|
Edy Rhamayadi
|
3
|
Sumatera
Barat
|
Padang
|
Irwan
Prayitno
|
4
|
Riau
|
Pekanbaru
|
Arsyadjuliandi
Rachman
|
5
|
Kepulauan
Riau
|
Tanjung
Pinang
|
Nurdin
Basirun
|
6
|
Jambi
|
Jambi
|
Zumi
Zola
|
7
|
Sumatra
Selatan
|
Palembang
|
Alex
Noerdin
|
8
|
Bangka
Belitung
|
Pangkal
Pinang
|
Rustam
Effendi
|
9
|
Bengkulu
|
Bengkulu
|
Ridwan Mukti
|
10
|
Lampung
|
Lampung
|
Gubernur:
Rusli Habibie
|
11
|
DKI
Jakarta
|
Jakarta
|
Anies
Baswedan
|
12
|
Jawa
Barat
|
Bandung
|
Ahmad
Heryawan
|
13
|
Banten
|
Serang
|
Rano
Karno
|
14
|
Jawa
Tengah
|
Semarang
|
Ganjar
Pranowo
|
15
|
DI
Yogyakarta
|
Jogjakarta
|
Sri Sultan Hamengkubuwono X
|
16
|
Jawa
Timur
|
Surabaya
|
Soekarwo
|
17
|
Bali
|
Denpasar
|
I Made Mangku Pastika
|
18
|
Nusa
Tenggara Barat
|
Mataram
|
Muhammad
Zainul Majdi
|
19
|
Nusa
Tenggara Timur
|
Kupang
|
Frans
Lebu Raya
|
20
|
Kalimantan
Barat
|
Pontianak
|
Cornelis
|
21
|
Kalimantan
Timur
|
Samarinda
|
Awang
Faroek Ishak
|
22
|
Kalimantan
Tengah
|
Palangkaraya
|
Sugianto
Sabran
|
23
|
Kalimantan
Selatan
|
Banjarmasin
|
Sahbirin
Noor
|
24
|
Kaliamantan
Utara
|
Tanjung
Selor
|
Irianto
Lambrie
|
25
|
Sulawesi
Utara
|
Manado
|
Olly
Dondokambey
|
26
|
Sulawesi
Barat
|
Kota
Mamuju
|
Anwar
Adnan Saleh
|
27
|
Sulawesi
Tenggara
|
Kendari
|
Saleh
Lasata (Plt)
|
28
|
Sulawesi
Tengah
|
Palu
|
Longki
Djanggola
|
29
|
Sulawesi
Selatan
|
Makasar
|
Syahrul
Yasin Limpo
|
30
|
Gorontalo
|
Gorontalo
|
Rusli
Habibie
|
31
|
Maluku
|
Ambon
|
Said
Assagaff
|
32
|
Maluku
Utara
|
Ternate
|
Abdul
Ghani Kasuba
|
33
|
Papua
Barat
|
Kota
Manokwari
|
Abraham
Octavianus Atururi
|
34
|
Papua
|
Jayapura
|
Lukas
Enembe
|
·
28 Pulau terluar
yang berbatasan langsung dengan luar Negara
No.
|
Nama
pulau
|
Koordinat
titik terluar
|
Perairan
|
Wilayah
administrasi
|
Negara terdekat
|
1
|
Alor
|
8°13′50″S
125°7′55″E / 8.23056°S 125.13194°E
|
Selat
Ombai
|
Kabupaten
Alor, Nusa Tenggara Timur
|
Timor Leste
|
2
|
Ararkula
|
5°35′42″S
134°49′5″E / 5.59500°S 134.81806°E
|
Laut
Aru
|
Kabupaten
Maluku Tenggara, Maluku
|
Australia
|
3
|
Asutubun
|
8°3′7″S
131°18′2″E / 8.05194°S 131.30056°E
|
Laut
Timor
|
Kabupaten
Maluku Tenggara Barat, Maluku
|
Timor
Leste
|
4
|
Bangkit
|
1°2′52″N 123°6′45″E / 1.04778°N
123.11250°E
|
Laut
Sulawesi
|
Kabupaten
Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara
|
Filipina
|
5
|
Barung
|
8°30′30″S
113°17′37″E / 8.50833°S 113.29361°E
|
Samudra
Hindia
|
Kabupaten
Jember, Jawa Timur
|
Australia
|
6
|
Batarkusu
|
8°20′30″S
130°49′16″E / 8.34167°S 130.82111°E
|
Laut
Timor
|
Kabupaten
Maluku Tenggara Barat, Maluku
|
Timor
Leste
|
7
|
Batek
|
9°15′30″S
123°59′30″E / 9.25833°S 123.99167°E
|
Laut
Sawu
|
Kabupaten
Kupang, Nusa Tenggara Timur
|
Timor Leste
|
8
|
Batu Bawaikang
|
4°44′46″N
125°29′24″E / 4.74611°N 125.49000°E
|
Laut
Sulawesi
|
Kabupaten
Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara
|
Filipina
|
9
|
Batu Berhanti
|
1°11′6″N
103°52′57″E / 1.18500°N 103.88250°E
|
Selat
Singapura
|
Kota
Batam, Kepulauan Riau
|
Singapura
|
10
|
Batu Goyang
|
7°57′1″S
134°11′38″E / 7.95028°S 134.19389°E
|
Laut
Aru
|
Kabupaten
Maluku Tenggara, Maluku
|
Australia
|
11
|
Batu Kecil
|
5°53′45″S
104°26′26″E / 5.89583°S 104.44056°E
|
Samudra
Hindia
|
Kabupaten
Lampung Barat, Lampung
|
Australia
|
12
|
Batu
Mandi
|
2°52′10″N
100°41′5″E / 2.86944°N 100.68472°E
|
Selat
Malaka
|
Kabupaten
Bintan, Kepulauan Riau
|
Malaysia
|
13
|
Benggala
|
5°47′34″N
94°58′21″E / 5.79278°N 94.97250°E
|
Samudra
Hindia
|
Kota
Sabang, Aceh
|
India
|
14
|
Bepondi
|
0°23′38″S
135°16′27″E / 0.39389°S 135.27417°E
|
Samudra
Pasifik
|
Kabupaten
Biak Numfor, Papua
|
Palau
|
15
|
Berhala
|
3°46′38″N 99°30′3″E / 3.77722°N
99.50083°E
|
Selat
Malaka
|
Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara
|
Malaysia
|
16
|
Bras
|
0°55′57″N
134°20′30″E / 0.93250°N
134.34167°E
|
Samudra
Pasifik
|
Kabupaten
Biak Numfor, Papua
|
Palau
|
17
|
Budd
|
0°32′8″N
130°43′52″E / 0.53556°N
130.73111°E
|
Samudra
Pasifik
|
Kabupaten
Sorong, Papua Barat
|
Palau
|
18
|
Damar
|
2°44′29″N
105°22′46″E / 2.74139°N
105.37944°E
|
Laut
Natuna
|
Kabupaten
Natuna, Kepulauan Riau
|
Malaysia
|
19
|
Dana (Dona; Ndana;
Pamana)
|
11°0′36″S
122°52′37″E / 11.01000°S
122.87694°E
|
Samudra
Hindia
|
Kabupaten
Kupang, Nusa Tenggara Timur
|
Australia
|
20
|
Dana
|
10°50′0″S
121°16′57″E / 10.83333°S
121.28250°E
|
Samudra
Hindia
|
Kabupaten
Kupang, Nusa Tenggara Timur
|
Australia
|
21
|
Deli
|
7°1′0″S
105°31′25″E / 7.01667°S
105.52361°E
|
Samudra
Hindia
|
Kabupaten
Pandeglang, Banten
|
Australia
|
22
|
Enggano
|
5°31′13″S
102°16′0″E / 5.52028°S
102.26667°E
|
Samudra
Hindia
|
Kabupaten
Bengkulu Utara, Bengkulu
|
Laut Lepas
|
23
|
Enu
|
7°6′14″S
134°31′19″E / 7.10389°S
134.52194°E
|
Laut
Arafuru
|
Kabupaten
Maluku Tenggara, Maluku
|
Australia
|
24
|
Fani
|
1°4′28″N
131°16′49″E / 1.07444°N
131.28028°E
|
Samudra
Pasifik
|
Kabupaten
Sorong, Papua Barat
|
Palau
|
25
|
Fanildo
|
0°56′22″N
134°17′44″E / 0.93944°N
134.29556°E
|
Samudra
Pasifik
|
Kabupaten
Biak Numfor, Papua
|
Palau
|
26
|
Gosong Makasar
|
3°59′25″N
117°57′42″E / 3.99028°N
117.96167°E
|
Laut
Sulawesi
|
Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Timur
|
Malaysia
|
27
|
Intata
|
4°38′38″N
127°9′49″E / 4.64389°N
127.16361°E
|
Laut
Sulawesi
|
Kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara
|
Filipina
|
28
|
Iyu Kecil
|
1°11′30″N
103°21′8″E / 1.19167°N
103.35222°E
|
Selat
Malaka
|
Kabupaten
Karimun, Kepulauan Riau
|
Malaysia
|
29
|
Jiew
|
0°43′39″N
129°8′30″E / 0.72750°N
129.14167°E
|
Laut
Halmahera
|
Halmahera,
Maluku Utara
|
Palau
|
30
|
Kakarutan
|
4°37′36″N
127°9′53″E / 4.62667°N
127.16472°E
|
Samudra
Pasifik
|
Kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara
|
Filipina
|
Gambar peta Indonesia
beserta pulau – pulau

Tidak ada komentar:
Posting Komentar